Pulang (cerpen)
Cahaya
kuning langit mulai memudar bersamaan dengan menanjaknya matahari. Rumput –
rumput ilalang ikut menyambut fenomena alam keseharian yang luar biasa itu. Aku
tak mau kalah semangat pagi ini, jemari mungilku turut menari – nari diatas
langit seirama dengan ilalang disekelilingku. Sementara tanganku yang lain
memegang satu paket rantang yang tak sabar kuhadiahkan pada ayah. Di dalamnya
terisi penuh satu porsi sarapan favorit ayah, diantaranya plecing, makanan
tradisional kampung kami, di temani seekor kakap goreng yang baru saja di
keringkan dari wajan, juga nasi putih hangat yang baru saja kumasak--meski
tidak seluruhnya kumasak sendiri sih, setidaknya aku ikut membantu ibu memasak.
Aroma kelezatan bekal yang kubawa makin lama tak tahu adat. Tanpa permisi ia
menusuk hidungku dengan aromanya yang menggoda. Barang kali berniat membelokkan
niatanku untuk memberikannya pada ayah, selanjutnya yang terjadi ibu pasti tak akan
memberi ampun, lagi pula aku sudah melahap dua porsi sarapan pagi ini. Aku berusaha
menepis godaan bekal dengan menyeruakkan lagu anak – anak kesukaanku yang masih
dimeriahkan tarian jemari diatas langit.
“Ibu
lama banget sih, Irene mau nyayi bareng ibu nih” kataku memotivasi ibu yang
berjalan tertinggal selepas membalikkan badan kearah ibu.
“Irene
aja yang kecepetan. Bentar lagi juga nyampe kok” Ibu tersenyum meledek sembari
menampakkan kedua tanganya yang dipenuhi bekal. Berharap aku memaklumi
kelambatanya.
Sementara
bibibrku mengerucut kesal, lalu memeperlambat jalan untuk menyamai langkah ibu.
Setelahnya, salah satu tanganku kembali menari – nari diatas langit yang
diiringi nyanyian ibu dan anak penuh semangat. Setibanya di pertenakan dan
perkebunan ayah, pandanganku menangkap sosok ayah yang tengah asik memeberi
makan sapi – sapinya. Spontan tubuhku berlarian kecil kearahnya yang langsung
disambut pelukan hangat ayah. Ayah menggiringku ke tepian pertenakan setelah
menebak bekal yang kubawa. Tak sabar ingin segera melahap, katanya.
Kami
menggelar tikar di daerah perkebunan ayah yang tak kalah indah disbanding pemandangan
alam sepanjang jalanan menuju tempat ini. Sementara ibu menyajikan makanan yang
telah kami bawa, aku berteriak gembira memanggil orang – orang yang bekerja di
pertenakan dan perkebunan. Seperti biasa, kakek Azis, nenek Azis, pak Budi, pak
Johar, bu Rina, bu Fatma, dan yang terakhir menyusul om Rafi untuk bergabung
bersama kami menikmati sarapan pagi ini. Dahiku mengkerut penasaran ketika
mendapati om Rafi yang berjalan terakhir memegang seikat rangkaian bunga, dan
tak disangka diserahkannya padaku.
“Lihat
om bawa apa. Kamu suka bunga – bunga ini kan?” Mulutku tak mengantup, takjub
dengan kejutan yang diberikan om Rafi pagi ini. Hingga tak sempat mengiyakan
pertanyaan om Rafi.
“Om
ngerangkai sendiri loh, dari bunga – bunga di kebun Irene. Baguskan? Padahal
awalnya mereka tanaman liar.” Om Rafi menjelaskan dengan nada lebih ceria,
meski tak ada yang memintannya.
Aku
terkagum atas inovatif om Rafi dan bereaksi dengan memeluk bunga itu berkali –
kali yang tanpa sengaja mengundang tawa orang disekitarku. “Irene janji deh bakal
jaga bunga – bunga ini dengan baik. Juga alam dan rumah Irene disini.” kataku
mantap.
“Di
luar sana masih ada yang lebih indah loh Irene.” sahut om Rafi.
“Iya.
Dibagian terkecil belahan bumi seperti desa kita aja alamnya luar biasa indah,
apalagi dibelahan bumi yang lain.” Ayah lanjut menerangkan.
“Kalo
gitu Irene mau kebelahan bumi yang lain itu.” Seluruh keluarga mengangguk
kompak. Takjub dengan mimpi Irene.
“Merantaulah
sejauh mungkin Iren sayang, tuntutlah ilmu sebanyak mungkin. Asalkan jangan
pernah lupakan dari mana kamu berasal”
***
Aku
mengibas tangan, mengalihkan lamunanku tentang masa lalu. Barangkali mimpi
kecil itu yang membawaku kemari. Mimpi kecil untuk merantau kebelahan bumi yang
lain. Menikmati budaya, sejarah, suasana kota, dan semua yang terjadi belahan
bumi yang lain. Juga mengukir kenangan di tempat yang tak pernahku bayangkan
sebelumnya. Seperti yang tengah aku rasakan saat ini, mengukir kenanganku
bersama pria yang tengah asik berdansa ditengah kerumunan penari tradisional
kota Paris, Prancis. Kota dengan segudang legenda romantisnya.
Aku
menghampiri pria itu lebih dekat, dengan posisi tangan yang masih bertahan
memegang kamera promuser sedari tadi, berharap mendapat moment lebih berharga.
Gerakan pria berlatar suasana kota Paris itu tertangkap lihai di kamera,
ekspresi penuh semangatnya menggelitik perutku, tangannya melabai – lambai kearah
kamera, seakan mengajakku turut menikmati suasana itu bersamanya. Aku melambaikan
tangan sebagai bentuk penolakan, malu kalo – kalo harus mengumbar kekonyolan di
negri orang. Namun ia tetap bersikukuh dengan menarik lenganku. Tanganku yang
masih memegang kamera tetap pada posisinya dan mata terfokus pada kamera tak
sanggup memberikan perlawanan yang berarti. Secara otomatis kamera yang
kupegang bergerak tak beraturan, merekam segala yang berada didekatnya. Dalam
hitungan detik, aku bisa merasakan tubuhku yang terhimpit kedua tangan pria
konyol itu. Aku mengadahkan wajah, berniat melakukan perlawanan, namun malah mempertemukan kedua pandangan
kami. Kedua bola matanya yang berwarna hijau karena percampuran darah,
hidungnya yang mancung berkaca pada mataku. Aku berinsiatif menghentikan
suasana menegangkan ini dengan mencubit pinggangnya. Pria dengan jaket armynya
yang khas berteriak kesakitan, bibir tipisnya mengerucut manja. Sementara aku
tertawa lepas hingga merunduk. Tak disangka ia mengikuti tundukkanku dan
mengembalikan suasana menegangkan tadi, karna kali ini wajah kami bertemu lebih
dekat. Aku berusaha mengembalikan posisi berdiri normal, yang diikuti olehnya
juga. Sebelum mulutku terbuka untuk memberi perlawanan kedua, ia telah lebih
dulu mengangkat daguku.
“I
need you girl” katanya singkat dengan ekspresi yang sulit kutafsiirkan.
“Will
you mary me?” katanya lagi tanpa keraguan. Aku menerawang kedalam kedua bola
matanya. Disana aku dapat melihat masa depanku bersamanya. Melanjutkan
perjalanan panjang kami untuk mengelilingan belahan dunia ini. Mengukir kenangan
bersamanya. Mengunjungi Roma, Instanbul, Italia, Jerman, Amerika, Spanyol,
India, dan terakhir tentunya Jepang, tempat impianku hidup bahagia bersamanya.
Oh Tuhan, dia semakin membuatku tak ingin pulang.
***
Ah
lagi – lagi kenangan itu, gumamku sembari tersenyum – senyum tanpa alasan.
Sayang seperti hari – hari biasa, kenangan itu semakin samar dan berganti
dengan ruangan gelap di selimuti kesepian. Perlahan muncul seorang ibu berwajah
pucat pasih berkata lirih padaku.
“Kenapa
tak pulang sedari dulu?”
Aku
menggeleng kaku. Seketika itu muncul benda besar dan menjatuhi ibu di hadapanku
sebelum aku berhasil menggapainya.
Aku
mentutup mata tak ingin melihat yang selanjutnya terjadi. Derap langkah kaki
seseorang tiba – tiba terdengar dari balik badanku. Tangannya menyentuh bahuku.
Aku membalikkan badan perlahan, terlihat pria dengan jaket armynya yang khas
tengah tersenyum lembut. Dibalik kakinya berdiri gadis kecil yang mirip denganku
terus menerus bersembunyi, seakan mengutarakan ketakuatanya yang entah pada
siapa. Seketika terjatuh kembali benda besar yang sama menimpa mereka. Gadis
kecil bersama pria tadi berhasil menghindari tumpahan benda besar itu. Gadis
kecil itu menangis ketakutan. Aku berniat menghampirinya, namun ia menghardiknya
dan menghilang sebelum aku berhasil menangkapnya. ruangan itu kembali dengan
kesunyiannya, yang membuatku berteriak sejadi – jadinya. Sebelum aku menyadari,
Hei bukanya mimpi ini telah berulangkali terjadi??
***
“Aaaaaaaaaargh…………..”
Irene menggulung – gulung tubuhnya diatas lantai dengan tangan memeluk lutut.
“Apa
tak apa membiarkan ibu itu berteriak seperti itu?” Tanya suster Suzy yang
tengah membereskan kamar bu Irene.
“Itu
udah biasa suster Suzy. Ah, aku baru ingat kamu suster baru ya disini.
Siklusnya dia akan bersikap seperti anak kecil, lalu seperti remaja yang baru
saja merasakan cinta, dan terakhir berteriak – teriak dengan mata meneteskan
air mata.” Suster Ai menghembuskan
nafasnya dalam. Tak tega pada bu Irene yang berada didekatnya.
“Sayang
sekali ya, padahal di foto – foto ini ia terlihat bahagia dan sukses.” kata
suster Suzy sembari merapikan foto – foto bu Irene di berbagai Negara.
“Kau
tidak mengenalnya? Bu Irene ini seorang treveller dunia loh!”
“Oh,
ya. Lalu bagaimana bisa nasib malang ini menimpanya?” Tanya suster Suzy
terkejut.
“Menurut
berita yang aku dengar, Ia seorang treveller yang fanatik. Pernah suatu ketika
ia harus pergi ke Jepang karena ingin melihat festival yang hanya diadakan lima
tahun sekali. Padahal saat itu ibunya sedang sakit, dan ia memiliki seorang
anak kecil. Alasanya sih ia hanya pergi beberapa bulan saja. Beberapa bulan
setelahnya, ia mendengar ibunya dalam keadaan krisis. Saat hendak pulang ke Indonesia bu Irene terdianogsis
terkena penyakit Hipoxia. Penyakit yang tak memeperbolehkannya terbang antar
Negara. Karena akan meneyababkan dirinya kekurangan oksigen dan berlanjut pada
kematian. Penyakit itu muncul karena dipengaruhi juga oleh serangan jantung
yang dideritanya. Di saat ia tak bisa pulang, berita kematian ibunya sampai
padanya. Bu Irene kemudian bersikukuh pulang. Namun demi keselamatanya,
temannya yang berasal dari Jepang menyita paspor dan seluruh kelengkapanya
untuk terbang antar Negara. Bahkan membloklist namanya….” Suster Ai menutup
kedua mulutnya dan duduk terkulai diatas ranjang bu Irene. Suster Suzy berjalan
mengikuti dengan perasaan hampa.
Suara
teriakan bu Irene tak terdengar lagi. Sekarang ia beranjak berdiri dan keluar
dari kamar ini tanpa ekspresi bahkan rasa hidup.
“Kemana
dia?” Suster Suzy memotong cerita dengan pertanyaanya.
“Hanya
ke kamar mandi mungkin.” Suster Ai tak sanggup menjawab lebih setelah
menceritakaan keadaan bu Irene.
Suster
Ai melanjutkan kisahnya. “Setelahnya suaminya mengunjunginya, Namun tetap harus
kembali ke indonesia untuk mengurusi anaknya yang masih kecil. Sayangnya, Tidak
berhenti sampai disitu penderitaan bu Irene. Beberapa tahun berlalu, terdengar
kabar kalau rumahnya di Indonesia tertimpa pesawat. Aku tidak tahu persis
bagaimana kejadiaanya. Yang jelas sesaat sebelum kejadian itu suaminya telah berniat
terbang dan menetap di Jepang karena anak mereka telah diizinkan untuk terbang.
Malang sekali nasib bu Irene, beruntung anak bu Irene selamat dari kejadiaan
itu. Saat itu bu Irene belum separah ini. Namun setelah mendapat email yang
ditulis langsung oleh anaknya bu Irene menjadi tak tahu dirinya dan arah
hidupnya.” Suster Ai yang bercerita tak sanggup lagi menahan air matanya.
“Memangnya
apa yang ditulis anaknya?” Suster Suzy masih tidak terima dengan semua yang
didengarnya.
“Entahlah,
sepintas yang aku ketahui. Anaknya menulis, bahwa ia membenci ibunya, karena
tega meninggalkannya seorang diri yang tengah tertimpa musibah. Mungkin anaknya
tidak tahu menahu soal penyakit ibunya. Mungkin ayahnya tak sempat memberi
tahu.” Suster Suzy terdiam kaku. Suster Ai tenggelam dalam pikirannya. Hingga
salah seorang suster lain membuka pintu kamar bu Irene.
“Ada
yang tahu bu Irene kemana?” katanya panik dan tak habis pikir kedua suster yang
ditemuinya tengah melamun.
“Sepertinya
ke kamar mandi” Suster Ai menjawab ragu.
Disisi
lain Suster Suzy berteriak terkejut setelah mendapati serpihan tanah liat yang
diinjaknya. Spontan kedua suster lain menoleh.
“itu
terlihat seperti kotak tabungan?” ucap salah satu suster.
“Bagaiman
mungkin, bukanya dia dalam keadaan tidak sadar?”
***
Maaf.
Maafkan
aku karena tak bertanggung jawab pada nasihat ibu untuk pulang.
Maafkan
aku karena telah berdosa meninggalkanmu gadis kecilku.
Maafkan
aku karena aku tenggelam dalam ambisiku.
Maafkan
aku karena berpura – pura gila pada suster setelah mimpi buruk itu.
Maafkan
aku karena aku ingin mengkhianati dokter. Demi memebereskan semua kesalah pahaman
ini dan berniat menyelesaikan hidupku dengan cepat.
Maafkan
aku jika aku tak benar – benar meminta maaf.
Kuukir
puisi itu dalam hatiku. Kurasakan tubuhku yang sakit meski hanya sekedar
bernafas. Tubuhku terguncang kuat. Seisi pesawat berusaha memepertahankan hidupku
dengan segala cara yang mereka bisa.
***
“Suster
Suzy?” Suster Ai berusaha mengenali.
“Ah
suster Ai ya? Lama tak jumpa” balas Suster Suzy ramah.
“Sekarang
bekerja dimana?”
“
Sekarang aku tidak lagi menjadi suster sus” Ungkap Suster Suzy.
“Oh
ya, lalu?”
“Aku
menjadi volunteer di sekolah jalanan imigran illegal.” Kata Suster Suzy lagi
“Sepertinya
bu Irene sangat mengispirasimu ya. Sepertinya kau sudah mendengar kabar
tentangnya?”
“Iya
yang aku dengar bu Irene menutup mata untuk terakhir kalinya setelah bertemu
dengan anaknya, meski dalam keadaan berbaring. Baginya itu tak masalah selama
anaknya tak menduga ia jahat. Selain itu ia meninggal dalam keadaan tersenyum
setelah berkata pada anaknya “Aku mecintai keluargaku lebih dari apapun didunia
ini, semoga kamu tak berbelok dari perkataanku ini”. Bagiku itu sangat
mengharukan. Bu Irene rela berpura – pura gila pada kita selama bertahun –
tahun demi kembali pulang.” Suster Ai yang lebih tua dari suster Suzy mengelus
rambut Suzy bagaikan seorang ibu.
“Sus,
aku ingin memulangkan muridku” Suster Suzy berucap tanpa sadar. Lalu ditatapnya
langit malam kota Tokyo yang di selimuti bintang - bintang kecil.
Suster
Ai Mengangguk maklum kemudian mengikuti arah pandangan suster Suzy “Andai dulu
aku pulang, mungkin aku akan tahu seperti apa putriku sekarang” kata Suster Ai
menerawang.
“Memangnya
suster bukan berasal dari Tokyo?”
Suster
Ai menggeleng pelan. “Aku dari Kyoto”
“Aku
juga”
***
“Kemanapun
kau pergi, sejauh apapun kau merantau, tetaplah kembali pada rumahmu. Karna
hakikatnya semua manusia akan kembali pada asalnya”
-Anonymous-
Komentar
Posting Komentar