where is it ???



Mobil melaju kencang, entah kemana tujuannya, aku tidak peduli. Satu mobil seperti ini bersama keluarga sudah cukup bagiku. Tapi tidak bagi ayah. Ayah ingin memeberikan lebih, sekalipun terpaksa mengajak kami berwisata disaat hujan deras. Sejak awal aku sudah menolak rencana ini. Tapi ayah tetap bersikukuh, karna hanya hari ini satu-satunya kesempatan ayah bersama kami.
Samar-samar aku mendengar suara perdebatan. Ngilu rasanya setelah lama tertidur sambil duduk didalam mobil. Bayangan seseorang diluar mobil juga tidak terlihat jelas. Mungkin itu ayah dan ibu, karna hanya ada aku didalam mobil. Sempat kutangkap beberapa patah kata dari obralan diluar.
“Ban mobil kita bocor” kata ayah lesu
“Apa ? Gimana kita bisa pulang? Kita saja tidak tahu ini dimana?” jawab ibu panik
Ayah hanya bisa menunduk. Meskipun samar aku melihat ayah, tapi aku bisa merasakan penyesalan dihati ayah. Kesal dengan suasana saat ini, segera aku keluar mobil. Membuka bagasi dan berharap bias memperbaiki mobil dengan peralatan dibagasi. Sayangnya semua kontras dengan harapanku. Tidak ada peralatan apapun dibagasi selain makanan praktis yang menumpuk.  Ibu segera menghampiriku dan kembali membawaku ke dalam mobil. Sementara ayah tidak banyak bereaksi. Diam berjalan kembali ke mobil dalam diam. Ingin rasanya aku memakinya, seandainya aku tidak pernah tau itu tindakan dosa.

 
Baru beberapa detik aku berada dimobil. Sekelompok orang datang menghampiri kami. Ibu masih diluar, ia terlihat kaget melihat kedatangan mereka. Pakaiaannya aneh tidak seperti orang kebanyakan. Ada ukiran-ukiran disekitar tubuh mereka atau yang biasa kita sebut tatto.
Ibu, mau istirahat di kita pe rumah?” kata salah satu dari mereka terbata.
Ngeri ibu menatap mereka “Mmm, maaf tapi kita mau istirahat disini saja” tolak ibu halus. Menurutnya tidak baik menerima tawaran orang yang belum kita kenal.
Satu dari mereka nyolot dengan bahasa yang tidak aku dan ibu mengerti. Sementara seorang lagi yang terlihat pemimpin memperingatkan. Lagaknya sudah seperti penerjemah antara kita. “Tak apa bu, kita bukan orang jahat” katanya meyakinkan.
Ayah keluar mobil dan mengabil alih pembicaran. Jadi benar kita boleh istirahat dirumah kalian?” semua mengangguk serentak.
Ibu hanya bisa pasrah. Ayah benar menerima tawaran ini sekalipun berisiko. Toh kita tidak mungkin tetap menunggu pertolongan yang belum pasti, didalam mobil dengan ban bocor. Sekolompok orang itu segera gotong royong membawa mobil. Sekalipun tanah masih becek karna hujan, mereka tetap semangat menolong kami. Ayah ikut membantu hingga kesuatu daerah yang tidak kita ketahui.
“ini dimana?” ibu masih panik.
Sudahlah, mungkin ini rumah mereka. Kita akan baik-baik saja” ayah mencoba menenangkan tapi lebih terdengar cuek dan tidak peduli.
“Ayo coba ini!” kata seorang nenek yang secara tiba-tiba berada dihadapan kita. Mulutnya bewarna merah dipenuhi pinang. Sementara kedua tangannya sibuk memegang berbagai makanan khas yang dipertunjukkan pada kita.
Lagi-lagi ayah dan ibu berbeda pendapat. Ayah memilih untuk  makan. Sementara ibu tidak. Ibu tetap dengan prinsipnya berhati-hati dengan tawaran seseorang yang tidak dikenal. Kini ayah malah beralih minta dukunganku. Tentu saja aku tidak akan berpihak pada siapapun. Mereka lebih mementingkan diri sendiri, itu yang sekarang ada dalam pikiranku.
Oma boleh saya langsung beristirahat dirumah oma” kataku sehalus mungkin. Sekaligus memecah perdebatan ibu dan ayah.
Boleh saja nak! Tapi apa ngana tak nyesel tak liat keliling suku?” kata nenek menggoda.
Aku menimbang-nimbang. Lalu setuju dengan usul nenek. Lagipula, jarang-jarang bisa wisata primitif gini.
Ya udah deh oma, tapi sama siapa?”
“Tuh ada cucu nenek. Dia pernah kerja dikota. Jadi tau bahasa indonesia” aku manggut-manggut setuju sambil noleh kearah telunjuk nenek.
Mimpi apa gua semalam?!, batinku lemas. Terlihat seorang anak laki-laki berkulit hitam legam cenge-ngesan memamerkan deretan giginya yang sama sekali tidak rapi. Badannya mungil, menunjukkan usianya tidak beda jauh denganku.
“Arkam” katanya bangga sembari menepuk-nepuk dadanya. Menurutku itu gerakan kebanggaan, tapi menurutnya itu salam perkenalan. Benar-benar aneh. Sementara, ibu yang usai dari perdebatan geleng-geleng kepala. Ayah seperti biasa, cuek dan pergi meninggalkan kami. Seperti tidak ada hal istimewa yang terjadi disini. Wajahku cemberut melihat kepergiaan ayah. Hatinya sama sekali tidak bisa disentuh.
Almas” kataku akhirnya, dengan senyum partisipasi banget.
Oo. ne!” Arkam menyodorkan sebuah papan seluncur.
Buat apa?”
Ya selancaran lah neng. Emangnya mau jalan-jalan ke mall” katanya sedikit menyindir. Gayanya benar udik!
Tapi inikan udah sore” ragu aku menyetujui usulan laki-laki berpelawakan aneh ini.
Yaelah, baru aja asar. Belom sore banget. Segitu banget!” aku memilih mengalah dan mengikutinya. Padahal dalam hatiku takut. Karna aku tidak tahu cara berselancar.
***
Ombak dipantai itu, terlihat menajubkan. Ditambah rana matahari sore. Arkam langsung melempar papan selancarnya tanpa pamit. Segera ia mengincar mangsa ombak terbaiknya. Tanpa menunggu lama, ombak jauh diatas tinggiku menyambar tubuh mungil Arkam. Sesaat ia tenggelam dalam ombak. Tapi, setelahnya ia muncul dengan gaya yang luar biasa. Berdiri diatas ombak tanpa merasa takut sedikitpun. Ombak seakan kendaraan pribadinya. Ia bisa mengendalikannya semaunya. Mulutku ternganga melihat adegan yang baru kali pertama kulihat seumur hidup.
Jangan cuma bengong dong! Ayo kesini! Liat tuh papan kamu udah gak ada ditangan” teriak Arkam berjalan menghampiriku setelah menyelesaikan aksinya. Aku yang baru tersadar dari lamunan, langsung memalingkan muka. Arkam tertawa puas karna telah membuatku malu.
“Kalo gak bisa selancar jujur aja sih” katanya mengejek
“Kata siapa? Aku bisa kok!” balasku berlagak bias.
“Ooya???!” tantangnya dengan alis mata terangkat sebelah dan menyunggingkan senyuman licik. Sedikit aku memerhatikan wajahnya. Ada dua lesung pipit diwajahnya. Menurtku dia juga manis dan kulitnya yang hitam hanya fenotip genetikanya. Coba saja dia dimake up dan tidak tinggal dipedalaman seperti ini. Aku yakin dia bisa jadi aktor nomor satu.
“Heh, sebenernya kamu bisa nggak sih? Awalnya aja udah salah.”  Lagi-lagi Arkam membuatku salah tingkah. Ia memerhatikan langkahku menuju laut. Perlahan dan ketakutan. Jauh dari cara peselancar hebat mendekati mangasanya, ombak.
Seseorang menarik kerah baju belakangku. “Ayah?!” kataku kaget.
“Nggak usah nekat. Kamu harus belajar dulu. Selancaran itu nggak semudah membalikkan telapak tangan” pesan ayah santai. Ayah selalu begitu. Datang secara tiba-tiba lalu menasehatiku seenaknya.
“Tapi kalo kamu belajar hanya karna gensi, pujian. Juga gak bakal bisa. Apalagi rela berbohong seperti ini agar tidak diremehkan Arkam. Itu bisa bahayain nyawamu” Arkam manggut-manggut setuju.
“Memang ayah peduli dengan aku?” bantahku, kemudian pergi menjauhi ayah dan Arkam. Arkam mengejarku, sedang aku tidak mempedulikanya dan tetap berlari menjauh. Mungkin dia juga mau menasehatiku karna betingkah tidak sopan pada ayah.
***
Malemnya, nenek Arkam membuatkan kami minuman hangat. Baru pertama kali aku menjumpai minuman seperti ini. Timun yang diparut seperti keju lalu dicampur jahe hangat dan ditaburi biji selasih sebagai topping. Perutku bahkan tidak bisa menolak minuman beraroma menggoda ini. Sayangnya, aku sedang tidak nafsu makan ataupun minum. Sejak kejadian dipantai tadi siang.
“Minum! Bias ngeredain panas dalam dan ngilangin capek” Arkam langsung duduk disampingku, yang lagi-lagi tanpa pamit. Seenaknya saja!. Aku diam tidak mengindahkan perkataanya. Walaupun mata sedikit melirik kearah minuman dihadapanku.
Arkam tertawa keras sembari memainkan minuman dihadapanku. Ia berpura-pura akan menghabiskan minumanku setelah habis minumannya. Sekelebat aku ingat perkataan ayah tadi siang yang aku benci. Untuk apa berbohong demi gengsi?. Ayah juga pernah bilang saat aku mendapatkan nilai ipa rendah.
“Dalam rumus fisika tekanan sama besar dengan gaya. Maksudnya, kalau dikehidupan kamu kamu merasa banyak tekanan itu artinya kamu kebanyakan gaya. Dan itu yang disebut gengsi.” kata ayah semabari mengelus rambutku. Aku yang waktu itu masih kecil dan tidak mengerti maksud perkataan ayah. Mengira perkataan itu sebuah ejekan.
“Kok kamu nggak marah sih?” kataku akhirnya setelah merebut minuman dari tangan Arkam.
“Buat apa marah?” jawabnya bingung.
“Kan aku udah bertingkah nggak sopan sama ayah. Dan kamu tau itu”
“Almas, Almas. Kelakuan kamu tuh nggak pernah salah. Cuma nggak tepat aja buat orng yang lebih tua. Apalagi ayahmu sendiri. Toh, aku juga gak berhak ngatur kamu. Cuma kamu yang bisa menyadari apa kelakuanmu salah atau nggak. Karna tingkah laku kita adalah tanggung jawab kita sendiri. O,ya satu lagi. Nggak pernah ada ayah sempurna. Tapi setiap ayah selalu ingin menjadi sempurana untuk anaknya” Arkam menghela nafas. Pergi meninggalkanku sendiri.
Setelahnya, aku memerhatikan ayah yang sibuk dengan mobilnya. Egois mungkin karna ayah tidak ikut berkumpul dan tertawa bersama kami. Tapi aku melihat sisi lain ayah. Ayah menyesal karna membuat kami tersesat dan ketakutan. Ayah berusaha memperbaiki mobil sekalipun dengan peralatan seadanya. Berharap bisa membawa kami pulang, sekalipun rela meninggalkan kebahagian dihadapannya. Berusaha keras melindungi kami meskipun terlihat cuek dan tidak peduli.  Hati ayah bukan tidak bisa disentuh. Tapi hati ayah selalu ada buat kami dan tidak bisa disentuh sembarangan.
Aku mendekati ayah. Memeluknya erat. Sesaat ayah tersentak. Lalu, membiarkanku bermain dengan pelukannya. Penampilan ayah saat ini sangat buruk. Karna ada banyak coretan oli diwajahnya, ditambah bau oli yang sngat menyengat. Tapi tentu saja, tidak bisa mengalahkan harum tubuh ayah yang penuh kehangatan.
Ibu yang sedari tadi sibuk membantu nenek menyiapkan makan malam. Memalingkan wajah kearah kami. Wajahnya menyunggingkan senyum tulus. Tepat disisi ibu ada papan bertuliskan “SUKU MBOJO”. Saksi bisu kisah kasih sayang keluargaku.
PICK!!! at Bima, NTB


//dokumen pribadi\\






 

Komentar

Postingan Populer